Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) hanya tumbuh sebesar 4,87% secara tahunan (year-on-year), menjadi yang terendah dalam tiga tahun terakhir, sejak kuartal III 2021. Angka ini juga lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,02%. Perlambatan ini memicu kekhawatiran di kalangan ekonom, pengusaha, dan masyarakat, dengan berbagai faktor penyebab dan dampak yang dirasakan secara luas.
Penyebab Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi
Beberapa faktor utama diidentifikasi sebagai penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi. Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, dalam siaran pers yang diterima Kompas.com pada 7 Mei 2025, menyatakan, “Melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini karena ada permasalahan daya beli masyarakat.” Konsumsi rumah tangga, yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, melemah akibat tekanan inflasi dan kenaikan harga barang pokok. Selain itu, investasi juga menurun, dan sektor manufaktur mengalami kontraksi, sebagaimana dilaporkan oleh akun X @PraBagoes pada 7 Mei 2025.
Faktor eksternal juga turut berkontribusi. Ketegangan perdagangan global, terutama dengan Amerika Serikat, serta melemahnya harga komoditas dunia, menjadi beban tambahan bagi ekonomi Indonesia. The World Bank juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2025 menjadi 4,7%, turun dari 5,1%, sebagaimana diungkapkan dalam laporan Macro-Poverty Outlook mereka pada 25 April 2025. Pakar dari IPB, seperti yang dikutip oleh @PraBagoes pada 7 Mei 2025, menyarankan pemerintah untuk memperkuat ekonomi digital, mendukung pekerja kreatif, dan mempercepat hilirisasi pertanian sebagai respons terhadap perlambatan ini.
Dampak bagi Pengusaha dan UMKM
Perlambatan ekonomi ini memberikan dampak signifikan bagi pengusaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. UMKM menyumbang 97% tenaga kerja nasional, namun menghadapi tantangan berat akibat melemahnya daya beli masyarakat. Seorang pengguna X, @WAHYU_UNIFORM, pada 5 Mei 2025, mengungkapkan kekhawatiran, “Pertumbuhan ekonomi 4,87 di triwulan pertama tak cukup. Pengusaha kecil hingga besar tak diberi stimulus seperti keringanan pajak, sehingga tak bisa memperluas usaha dan ciptakan kesempatan kerja baru.” Tanpa stimulus yang memadai, banyak UMKM kesulitan untuk bertahan, apalagi berkembang, di tengah penurunan permintaan pasar.
Sejarah menunjukkan bahwa UMKM sering menjadi penopang ekonomi di masa krisis, seperti pasca-krisis moneter 1998. Namun, tanpa dukungan kebijakan yang tepat, seperti subsidi bunga pinjaman atau insentif perpajakan yang pernah diterapkan pada masa pandemi Covid-19, sektor ini berisiko mengalami stagnasi lebih lanjut. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa UMKM menyumbang 61,97% terhadap PDB, sehingga perlambatan ini dapat memperparah ketimpangan ekonomi jika tidak segera ditangani.
Dampak bagi Masyarakat Umum
Bagi masyarakat pada umumnya, perlambatan ekonomi ini berarti meningkatnya risiko pengangguran dan penurunan kesejahteraan. Dengan konsumsi rumah tangga yang melemah, banyak keluarga berpenghasilan rendah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, terutama di tengah antrean panjang untuk mendapatkan LPG 3 kg yang juga menjadi isu hangat saat ini. Selain itu, lulusan baru dari SMA, SMK, dan perguruan tinggi menghadapi pasar kerja yang semakin kompetitif, seperti yang disoroti oleh @WAHYU_UNIFORM, yang menyebutkan bahwa fresh graduate membutuhkan lapangan kerja yang kini sulit diciptakan akibat ketiadaan ekspansi usaha.
Tren ini juga dapat memperburuk urbanisasi, karena masyarakat di pedesaan mungkin terdorong untuk mencari peluang di kota besar, meskipun peluang tersebut kian terbatas. Di sisi lain, perlambatan ini memperlebar kesenjangan ekonomi, karena masyarakat menengah ke bawah, yang sangat bergantung pada UMKM, merasakan dampak lebih keras dibandingkan kelompok kaya yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya.
Saran dari Pakar
Pakar IPB, sebagaimana dikutip oleh @PraBagoes, menekankan pentingnya inovasi untuk mengatasi perlambatan ini: “Pemerintah perlu memperkuat ekonomi digital, mendukung pekerja kreatif, dan mempercepat hilirisasi pertanian untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.” Pendekatan ini sejalan dengan strategi masa lalu, seperti Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 2020-2021, yang berhasil membantu UMKM melalui subsidi bunga dan restrukturisasi kredit. Pemerintah juga didesak untuk memberikan stimulus fiskal, seperti keringanan pajak, guna mendorong ekspansi usaha dan penciptaan lapangan kerja.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I 2025, yang hanya mencapai 4,87%, menjadi alarm bagi semua pemangku kepentingan. Melemahnya konsumsi rumah tangga, penurunan investasi, kontraksi sektor manufaktur, dan tekanan global menjadi penyebab utama. Dampaknya sangat terasa bagi UMKM dan masyarakat umum, dengan risiko stagnasi usaha, meningkatnya pengangguran, dan melebarnya kesenjangan sosial. Tanpa intervensi yang cepat dan tepat, pemulihan ekonomi akan semakin sulit. Pemerintah perlu belajar dari keberhasilan masa lalu, seperti dukungan terhadap UMKM selama pandemi, dan segera menerapkan kebijakan yang inovatif untuk menggerakkan kembali roda perekonomian.
0 Komentar